Birahi palsu (Silent Heat), meningkatnya kegagalan inseminasi buatan (IB), dan menurunnya produksi susu dapat disebabkan oleh mikotoksin
Selain masalah mastitis dan kualitas susu, kegagalan reproduksi juga menyebabkan kerugian yang besar pada suatu peternakan sapi perah. Salah satu penyebab kegagalan reproduksi sapi perah adalah mikotoksin, toksin yang dihasilkan oleh jamur.
Alain Reocreux – International Development Manager Olmix – perusahaan nutrisi pakan asal Perancis – mengatakan, risiko sapi perah terekspos mikotoksin lebih besar ketimbang unggas. Ransum sapi perah umumnya merupakan kombinasi biji-bijian dan hijauan. Faktanya tingkat kontaminasi mikotoksin pada biji-bijian bahan baku pakan cukup tinggi saat ini.
Begitu pula dengan hijauan dalam bentuk jerami atau silase yang tak luput dari kontaminasi mikotoksin. ”Maka bila biji-bijian dan hijauan terkontaminasi mikotoksin tadi dikonsumsi sapi perah, maka risiko terekspos poli-kontaminasi mikotoksin sangat tinggi. Apalagi pada sapi laktasi yang jumlah konsumsi ransumnya lebih banyak. Pedet pun sangat rentan terhadap mikotoksin,” tutur doktor lulusan Wisconsin University, Amerika Serikat ini.
Ron Cravens –Vice President Amlan International – perusahaan produsen produk pengikat mikotoksin (mycotoxin binder) asal Amerika Serikat – yang ditemui belum lama ini di Jakarta berpendapat serupa. Fokus pada mikotoksin, ia menilai kontaminasi mikotoksin pada bahan baku pakan sulit dihindari. Bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebutnya, menyatakan 25 % biji-bijian di dunia ini terkontaminasi mikotoksin. ”Yang membuatnya sulit dihindari, mikotoksin itu sudah muncul sebelum biji-bijian itu dipanen,” katanya.
Secara alamiah mikroba rumen dapat mendegradasi sebagian mikotoksin yang masuk ke rumen. Efek dari degradasi itu, sapi perah hanya terekspos mikotoksin level rendah, tingkat mikotoksikosis akut menurun, dan gejalanya tak nampak oleh peternak. Namun menurut Reocreux, justru ini lebih berbahaya karena malah membuat sapi perah terekspos mikotoksin terus-menerus dalam periode yang panjang. Akhirnya toksisitasnya pun akan lebih kronis dan sebagai dampak, performa produksi akan menurun.
Tak hanya itu, degradasi mikotoksin oleh mikroba rumen juga akan menghasilkan beberapa bentuk derivat yang toksik, lanjut Reocreux. Derivat ini dapat menimbulkan gejala yang berbeda dengan gejala yang umumnya ditimbulkan oleh mikotoksin.
Zearalenone dan Aflatoxin
Menurut Reocreux, seringkali peternak dan nutrisionis sapi perah hanya fokus pada aflatoxin, padahal banyak mikotoksin lain yang juga membahayakan, seperti DON, fumonisin, dan zearalenone. Ketiga jenis mikotoksin ini banyak terdapat pada hijauan dan biji-bijian.
Reocreux menjelaskan, dari ketiga jenis mikotoksin itu, sapi perah sangat sensitif terhadap zearalenone. Zearalenone memiliki efek estrogenik (dapat beraksi seperti estrogen) dan dapat menyebabkan gangguan reproduksi. Di dalam rumen, zearalenone secara cepat dikonversi menjadi α- dan β-zearalenol yang memiliki efek estrogenik tinggi.
Derivat zearalenone ini 10 kali lebih aktif dibanding zearalenone. ”Cara kerjanya hingga menyebabkan gangguan reproduksi adalah dengan meniru tipe aksi estrogen, kemudian menyebabkan terjadinya birahi palsu. Rentetannya, siklus birahi jadi terganggu, kegagalan inseminasi buatan meningkat, dan terjadi metritis (inflamasi pada dinding uterus),” terangnya.
Sumber : www. trobos.com