Foto : trobos.com |
Syamsudin peternak sapi aceh dari Desa Meudang Ghon Kecamatan Jaya Kabupaten Aceh Jaya Provinsi Aceh mengungkapkan, ia mewarisi tradisi beternak sapi aceh dari leluhur secara turun temurun. Meski skala kepemilikan sapinya hanya 6 ekor yang terdiri atas 1 ekor jantan dan 5 ekor betina, Syamsudin mengaku usaha ini menjadi penggerak ekonomi keluarganya. Belum lama, sapi aceh jantan miliknya umur sekitar 3 tahun dengan berat taksiran 150 kg yang menjadi juara 1 dalam kontes sapi aceh se Provinsi Aceh tahun lalu sempat ditawar Rp 20 juta. Tetapi Syamsudin bertahan tidak menjualnya.
Ia bertekad akan mempertahankan sapi jantannya itu dan menjadikannya pemacek (pejantan) bagi sapi-sapi betinanya sampai beranak pinak. “Saya masih menggunakan kawin alami untuk membuntingkan sapi betina karena selama ini sapi dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari,” ungkap Syamsudin. Ia menambahkan, sapi jantannya akan dijual hanya kalau keadaan mendesak dan harga belinya sesuai. Kesetiaannya membudidayakan sapi aceh, kata Syamsudin, sebagai kontribusinya dalam ikut menyelamatkan sapi jenis tersebut.
Idealisme yang sama diutarakan Subandi, dalam memilih sapi aceh untuk usaha budidaya sapinya. Peternak asal Desa Raja Kecamatan Bendahara Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh ini mengatakan, “Memilih memelihara sapi aceh karena ingin ikut andil melestarikan sumber daya ternak di daerah ini.” Alasan lain, berdasar pengalaman dia, pertumbuhan sapi aceh lebih cepat ketimbang sapi lokal jenis lainnya.
Kepada TROBOS ia mengungkapkan strategi dia dalam beternak sapi aceh, yaitu menjual ketika harga pantas dan memelihara lagi sapi yang berukuran kecil. “Syukur – syukur kalau sapi yang dipelihara bisa beranak pinak,” ungkap pemilik 3 sapi aceh jantan dan 5 betina ini. Tak jauh beda di Bali. Beternak sapi lokal merupakan suatu kebanggaan bagi peternak sapi di Pulau Dewata ini. Karena itu, umumnya usaha ini dimiliki peternak secara turun temurun. “Memelihara sapi bali adalah sebuah kebanggaan sekaligus menunjukkan status sosial seseorang di masyarakat,” terang I Wayan Madra, peternak sapi bali asal Desa Tiga, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Predikat juragan sudah sepantasnya disematkan pada pria ini. Karena di kandang miliknya terdapat 20 ekor sapi bali jantan dewasa, 40 ekor betina dewasa, 15 pedet jantan dan 5 pedet betina. Ia mengaku memilih memelihara sapi bali dengan alasan lebih mudah, mampu hidup dalam kondisi apapun.
Lekat Tradisi dan Budaya
Budiaya sapi aceh tidak lepas dari tradisi dan budaya di daerah setempat. Diungkapkan Bahrum, Ketua Kelompok Peternak Jroha Naguna di Desa Pango Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh, dipilihnya sapi aceh oleh peternak juga disebabkan tradisi masyarakat Aceh yang kental dengan budaya Islam. Permintaan sapi aceh yang tinggi, dibarengi harga yang tinggi berhubungan dengan tradisi hari besar keagamaan seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Pria yang juga Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Banda Aceh, Provinsi Aceh ini mengatakan, di waktu-waktu istimewan tersebut, penduduk Aceh biasanya membuat berbagai olahan makanan seperti kari serta dendeng. Dan bahan baku yang digunakan, kata Bahrum, harus daging sapi aceh.
Demikian pula untuk Madura. Kisah peternak sapi madura memiliki keunikan tersendiri dikarenakan karakter sapi jenis ini yang terkenal tak hanya sebagai penyedia pangan tetapi dikenal luas untuk aktivitas kerapan (balapan) maupun sonok (hias). Hannan yang beternak sapi madura secara turun temurun di daerah Sumenep berpendapat, selain karena lebih tahan terhadap penyakit dan tidak rewel, sapi madura dipilih peternak karena masyarakat setempat masih memegang teguh tradisi budaya yang berkaitan dengan sapi madura. Pemilik 2 ekor jantan dan 4 ekor betina sapi madura mengatakan, masyarakat Madura masih kerap menggelar kerapan sapi dan seni saroniman (sapi sonok/kontes performa). “Sapinya harus sapi madura,” kata dia. http://trobos.com