Ketidakseragaman Ukuran Telur dan Penanggulangannya

Senin, 25 Juni 2012 12:42 WIB

Telur tidak seragam

Oleh      : M. Alfi Novianto
                 (09910003)
                 Jurusan Peternakan UMM

       A.   Definisi

      Ketidak seragaman ukuran telur adalah dimana telur yang dia hasilkan oleh sekelompok unggas dalam satu kandang mempunyai ukuran yang berbeda-beda. Pengembangan usaha peternakan ayam petelur di Indonesia masih memiliki prospek yang cukup terbuka lebar. Hal ini karena telur merupakan salah satu produk yang dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia. Secara garis besar parameter keberhasilan usaha ini ditentukan dari aspek 2 aspek, yaitu aspek pencapaian produktivitas dan keuntungan financial. Untuk mencapai kedua parameter keberhasilan tersebut, maka produksi telur, yang dilihat dari kuantitas dan kualitasnya, harus mampu dicapai dengan maksimal. Namun pada kenyataannya, sejauh ini beberapa peternak ayam petelur masih saja menghadapi beraneka ragam masalah yang berdampak pada penurunan produksi telur, baik penurunan jumlah maupun kualitasnya. Ada banyak faktor yang bisa menjadi penyebab, terdiri dari faktor infeksius (penyakit) dan non infeksius (mutu bibit, kecukupan nutrisi, kondisi lingkungan dan manajemen pemeliharaan). Untuk itu beberapa ulasan mengenai telur dan problematika penyebab penurunan produksinya akan coba kami jabarkan.

 

B.    Faktor Penyebab

1.         Faktor Penyakit

     Faktor penyakit selama ini dianggap sebagai salah satu penyebab utama penurunan produksi telur pada ayam petelur. Penyakit menyebabkan berbagai disfungsi organ, baik itu oragan pencernaan, pernafasan, syaraf maupun organ reproduksi yang secara langsung berhubungan dengan produksi telur. Diantara jenis penyakit tersebut yang sering menjadi buah bibir peternak ayam petelur adalah ND, AI, IB dan EDS. Pada perkembangannya, virus AI memiliki 2 mekanisme dalam menggangu organ reproduksi ayam, yaitu pembendungan pembuluh darah di ovarium dan rusaknya permukaan ovarium pada saat budding exit atau keluarnya virus dari sel. Kedua mekanisme ini akan mengakibatkan penurunan bahkan menghentikan produksi telur. Infeksi AI juga mempengaruhi kualitas telur dimana serangannya menyebabkan telur kehilangan pigmennya sehingga warna kerabang menjadi lebih pucat. Perubahan pada organ reproduksi akibat ND yaitu indung telur mengecil, selaput telur membengkak dan terjadi perdarahan. Begitu juga pada infeksi EDS, oviduct menjadi kendur dan terdapat oedema (pembengkakan) pada jaringan sub-serosa-nya.

2.         Kualitas pullet

Pada kasus yang disebabkan oleh kualitas pullet yang kurang baik ditandai dengan ciri-ciri memiliki berat badan dan keseragaman pullet yang rendah. Keseragaman pullet yang rendah ini dapat mengakibatkan ketidakseragaman awal produksi dan tidak seragamnya ukuran telur yang dihasilkan. Ciri lainnya, lamanya mencapai dewasa kelamin sehingga awal produksi menjadi terlambat. Adanya pullet yang mempunyai jarak tulang pubis yang sempit juga menjadi cirri tersendiri yang mengakibatkan ayam tersebut mempunyai ukuran telur yang lebih kecil atau tidak seragam.

3.         Nutrisi pakan dan air minum

Kualitas ransum yang buruk, nutrisinya kurang atau tidak seimbang serta ransum yang mengandung zat racun/antinutrisi dapat menyebabkan penurunan produksi telur. Demikian halnya dengan kecukupan air munim. Menurut Clauer (2009), ayam petelur yang tidak mengkonsumsi air munim hanya selama beberapa jam, akan berhenti berproduksi telur sampai berminggu-minggu. Ukuran dan berat telur juga dipengaruhi oleh nutrisi ransum seperti protein, asam amino tertenu seperti methionine dan lysine, energy, lemak total dan asam lemak esensial seperti asam linoleat. Tidak terpenuhinya kebutuhan dari salah satu nutrisi tersebut melalui asupan ransum, maka akan mengurangi berat telur. Bahkan jika hal tersebut terjadi pada petelur produksi sebelum umur 40 minggu, bisa berakibat pada penurunan jumlah produksi telur.

4.         Manajemen Pemeliharaan

a.         Kurangnya pencahayaan atau tidak cukupnya intensitas cahaya

b.         Dapat menimbulkan stress pada ternak unggas, seperti akibat cuaca panas

 

C.     Penanggulangannya

1.         Faktor Penyakit

Melakukan vaksinasi yang teratur, sesuai dengan kebutuhan unggas. Seperti pemberian vaksin ND, AI, IB, dan EDS. Sehingga dapat diperoleh ukuran telur yang seragam sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen.

2.         Kualitas Pullet

Memilih pullet yang mempunyai jarak tulang pubis yang bagus sehingga ukuran telur tidak akan lebih besar. Dan memilih pullet yang seragam sehingga telur yang dihasilkan seragam pula.

3.         Nutrisi pakan dan minum

Nutrisi pakan dan minum harus seimbang disesuaikan dengan kebutuhan gizi untuk ayam petelur, sehingga mendapatkan keseragaman dalam bentuk maupun ukuran dalam ayam petelur.

4.         Manajeme pemeliharaan

Ayam petelur yang sudah memasuki masa produksi telur, membutuhkan 16 jam pencahayaan untuk memelihara jumlah produksi telur tetap optimal. Faktor pencahyaan saat masa pullet juga berhubungan erat dengan pencapaian berat, ukuran telur dan kematangan saluran reproduksi. Secara umum ayam yang mengalami kematangan seksual terlalu dini (belum cukup umur) akan memproduksi telur dengan ukuran kecil. Demikian juga sebaliknya ketika kematangan seksual terlambat, maka ayam akan memproduksi telur dengan ukuran besar (abnormal).

Stres dapat menyebabkan turunnya produksi telur. Stres yang biasa terjadi meliputi stress akibat perubahan cuaca/suhu (kedinginan atau kepanasan), pindah kandang, serangan parasit dan perlakuan kasar. Stres yang ditimbulkan akibat suara gaduh atau perlakuan kasar dapat menyebabkan proses pembentukan kerabang telur tidak berlangsung secara sempurna. Kedinginan adalah stress yang paling sering terjadi selama musim penghujan. Dalam kondisi ini pencahayaan berkurang dan berakibat tidak terangsangnya hormone reproduksi untuk memproduksi telur.

 

D.   Daftar Pustaka

 Anonymous, 1991. Peternakan terpadu, infonet edisi april 003

 Mulyono, S. 1999. Memelihara Ayam Berorientasi Agronisnis. Penebar Swadaya. Jakarta.

 Rasyaf, M. 1990. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Karnisius, IKAPL. Yogyakarta.

 

Shared: