Menyegarkan kembali pengertian tentang vitamin pada unggas sebagai nutrisi esensial, dan mencermati paradigma Optimum Vitamin Nutrition (OVN) menurut nutrisionis dunia

Sabtu, 18 Februari 2012 07:56 WIB

Foto : Trobos.com.



foto : Trobos.com

Pemberian suplemen vitamin bagi peternak unggas menjadi wajib, bahkan terprogram secara rutin. Suplemen yang mereka berikan rata-rata mengandung vitamin B kompleks dan C. Alasannya beragam. Ada yang sekadar memenuhi ‘program’ manajemen pemeliharaan yang digariskan inti (bagi plasma kemitraan broiler/ayam pedaging). Ada pula yang memberikan dengan alasan kuat karena tingkat stres lingkungan sedang tinggi. Situasi tersebut memerlukan suplementasi vitamin B untuk menjaga feed intake (asupan pakan) dan vitamin C untuk ketahanan tubuh dari perubahan manajemen maupun cekaman lingkungan.

Penjelasan ini disampaikan Sudarisman, peternak broiler dan layer (ayam petelur) yang tinggal di kawasan Gamping – Jogjakarta. Ia menyatakan, peternak broiler dan layer tak mungkin lepas dari program pemberian vitamin secara rutin. “Sejak DOC (Day Old Chicks/anak ayam umur sehari) datang, kami sudah siapkan program suplemen vitamin,” ungkap pemilik bendera Darky PS ini.

Daris, sapaan akrabnya, menyadari jika sebenarnya kebutuhan vitamin bagi ayam sudah dipenuhi oleh pabrik pakan. “Dalam pakan sudah disuplementasi premiks vitamin, yang memperhatikan bioavailabilitas-nya,” kata pria yang juga pengajar Akademi Peternakan Brahma Putra - Jogjakarta ini. Tetapi, ia masih menambahkan suplementasi vitamin lewat air minum karena berkaitan dengan program pemeliharaan yang disesuaikan dengan perubahan manajemen, vaksinasi, pengobatan dan kondisi lingkungan.

Jenis-jenis Vitamin
Vitamin dibutuhkan dalam jumlah sedikit, namun sangat signifikan pengaruhnya terhadap metabolisme. Secara garis besar, Prof Zuprizal – guru besar Ilmu Nutrisi Unggas Fakultas Peternakan UGM menerangkan,  berdasar kelarutannya vitamin terbagi menjadi 2, yaitu vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E dan K) dan vitamin larut air (vitamin B kompleks/B1 sampai B12 dan vitamin C). Vitamin larut lemak bisa dideposisi dalam tubuh jika terjadi kelebihan asupan. Sedangkan kelebihan vitamin larut air/elektrolit akan dibuang melalui ekskreta.

Menurut Zuprizal, meskipun vitamin larut lemak bisa disimpan, ketersediaannya dalam pakan tetap harus cukup. “Sebab jika terjadi kekurangan, untuk memobilisasi kembali vitamin dalam lemak itu perlu waktu dan energi. Selain itu lemak tubuh pun ikut termobilisasi,” ungkap alumni doktoral Universitas Rennes I Perancis ini.

Optimum Vitamin Nutrition
Vitamin merupakan nutrien mikro yang harus ada dalam diet unggas. Ahli nutrisi akan menghitung ketersediaan vitamin dalam ransum yang disusunnya setelah semua nutrien utama tersusun formulasinya. Dahulu, nutrisionis memenuhi kebutuhan vitamin dalam pakan mereka menggunakan standar nutrient requirement yang dikeluarkan oleh NRC (National Research Council), sebuah lembaga riset nasional dari USA ataupun ARC (Agricultural Research Council) dari Inggris. Level vitamin ransum dipenuhi dengan menggunakan premiks vitamin.

Menurut Suaedi Sunanto Manajer PT DSM Nutritional Products Indonesia, jika dibandingkan dengan standar kebutuhan vitamin yang dikeluarkan NRC itu, level vitamin yang disarankan oleh DSM dalam menggunakan produknya jauh berbeda.

Tabel NRC, ARC dan lembaga penelitian lainnya merupakan sumber yang kaya pengetahuan ilmiah mendasar yang berkaitan dengan vitamin. Namun nutrisionis pakan mutakhir memutuskan mendongkrak angka ilmiah kebutuhan nutrisi unggas itu antara 5 kali sampai 10 kali. Berdasar database TROBOS tentang laporan riset panjang Optimum Vitamin Nutrition (OVN) yang dilakukan nutrisionis unggas dunia, penambahan itu masuk akal karena digunakan untuk mengimbangi perkembangan genetik, tantangan kondisi lingkungan yang tak sebagus laboratorium, stres manajemen, penyakit, treatment medis, dan variabel ekonomi penting lainnya.

Menurut Research and Development Manager CJ Feed Indonesia, Nugroho Adi Hartono, kebutuhan vitamin antara broiler dan layer periode lanjut  sangat berbeda. Karena memang fungsi metabolismenya berbeda sesuai dengan target produksinya. Pada broiler nutrisi difokuskan untuk deposisi otot dan lemak sedangkan pada layer nutrisi akan digunakan untuk proses reproduksi dan peneluran. Menurut  Nugroho, layer membutuhkan vitamin A, B1, B2, D, dan panthotenic acid bisa lebih tinggi 25 – 50 %. Sedangkan kebutuhan biotin, folic acid dan B12 bisa 100 % lebih tinggi.

Loss Saat Pabrikasi
Pada berbagai publikasi ilmiah terapan, peneliti nutrisi unggas tenar Steve Leeson dari Department of Animal and Poultry Science –University of Guelph, Kanada menyatakan alasan proses pembuatan pakan turut andil untuk memaksa level pemberian vitamin pada ayam melalui pakan dan suplemen jauh lebih tinggi daripada saran  NRC. Salah satunya adalah bioavailabilitas vitamin dalam bahan pakan yang menurun karena faktor penyimpanan (bahan pakan, premiks, dan pakan jadi) dan pabrikasi pakan.

Technical Associate Trouw Nutrition Indonesia, Wira Wisnu Wardani  menyatakan vitamin mudah rusak akibat pemanasan, kelembaban, pH, interaksi dengan zat-zat lain serta lama penyimpanan. Penyimpanan premiks vitamin sebaiknya pada suhu 25oC. Kerusakan vitamin karena suhu pabrikasi diatasi aplikasi dengan teknologi coating (pengikat/pelindung) dan beadled (perlindungan berlapis) pada premiks vitamin. Bahan kimia pengikat tersebut tidak menggangu pencernaan karena larut oleh asam lambung.

Suaedi Sunanto membeberkan vitamin C paling sensitif terhadap kerusakan. Kerusakan vitamin C ini bukan karena molekulnya rusak melainkan karena saat pelleting vitamin teroksidasi atau berikatan dengan senyawa lain.

Bisa Meracuni
Menurut Setijo Purwono, di sisi lain vitamin juga memiliki efek toksik pada pemberian yang berlebihan. Contohnya, pada pemberian vitamin A secara berlebihan 4 - 10 kali lipat dari kebutuhannya akan membuat unggas keracunan. Senada dengan Setijo, Suaedi mewanti-wanti agar memperhatikan vitamin fat soluble (larut lemak), karena memiliki ambang toksisitas (level ambang batas meracuni) lebih rendah dibanding dibanding yang larut air. Jika dibandingkan dengan vitamin E, K, dan A, ambang toksisitas paling rendah adalah vitamin D3. Ambang toksisitas vitamin larut air jika dibandingkan vitamin yang larut lemak jauh lebih tinggi karena ia bisa dibuang oleh tubuh.

sumber : trobos.com

Shared: